Wednesday, September 24, 2008

vanilla-chocolate




jam menunjukan jam 5 lewat. tanggung, sedikit lagi beduk magrib. perut ku sudah melilit tak karuan, mungkin ini 1 jam plg menyiksa dlm hidupku, pikir ku. maklum usia ku saat itu masih bilangan 1 digit. melihat ku yg sudah jumpalitan tak karuan menahan lapar ayahku menasehatiku, “tanggung sayang tinggal sebentar lagi buka”. nasehat lembut ayahku tak membantu ku mengusir lapar puasa ini. im still feel in egony. menyadari nasehat lembutnya yg tak berhasil, ayah mengganti strategi. iya mengajak ku pergi utk membeli eskrim, makanan favorit ku saat itu. tersentak aku, membayangkan eskrim yg begitu nikmat yg akan ku santap apalagi sudah tak tahan lg aku menahan lapar ini. ayahku mengeluarkan mobil, mengajakku pergi ke warung kakeku yg berada di ragunan. perjalanan ps minggu ke ragunan tak terasa, padahal ayahku menyetir dgn lambat dengan maksud mengulur waktu. mungkin karena bayangan eskrim di kepala ku atau mungkin karena aku selalu menikmati jalan2 dgn mobil ayahku.

tepat magrib saatku tiba di warung kakeku. seperti janji ayahku, ia memberikan ku 1 cup eskrim campina. eskrim ternikmat yg pernah aku rasakan dalam hidupku. rasa vanila-coklat…

Tuesday, September 23, 2008

Great Grand father


Kakeku meninggal pada usia 72 tahun. Ia meninggal bukan lantaran penyakit yg dideritanya, melainkan lebih karena rasa kesendiriannya, rasa dimana ia tak lagi dibutuhkan. Kita memang terlahir sendiri, maka mati pun kita akan sendiri. Aku tak ingin membahas tentang kematiannya, tapi aku ingin menulis ttg kehidupannya. Semua orang pasti mati, tapi hanya beberapa yg benar2 hidup. kakeku termasuk beberapa orang itu.

Terlahir bukan dari golongan keluarga berada. Berjuang dari satu kampung masuk kampung keluar kampung menjajakan barang dagangan berupa pakaian. Bukan dari golongan berpendidikan. Konon katanya ia kesulitan membaca huruf alfabet, tapi sangat fasih membaca huruf arab gundul. Diakhir hayatnya ia juga bukan org yg kaya raya atau juga bukan pengusaha sukses yg mewariskan perusahan raksasanya ke anak-cucunya. Ia hanya sosok sederhana yg hatinya terpaut ke masjid dan badannya bermandikan peluh mencari rizki. Sinar terik matahari tak dirasa, keringat bercampur tekad membasahi semangat utk menyekolakan anak2nya agar berpendidikan tinggi. Ia pernah berucap,"anak2 gua harus sekolah, biar kaga bodoh kaya gua. gua mang cari duitnya begini capek,yah karena gw bodoh. jangan sampe anak2 gua kaya gua, cari duitnya capek". ia bahkan pernah menjual piring makannya dan beras ke warung belakang karena anaknya yg ingin brangkat sekolah tak punya ongkos. Ialah bapak pendidikan, memberikan pelajaran hidup sampai nafas terakhirnya. membekali dengan ilmu berikut pondasi iman&taqwa. Kerut di wajahnya menggambarkan jelas perjuangan keras hidupnya. Sampai suatu saat kesendirian itu merenggut nyawanya.

Aku berdoa untuknya, tapi sepertinya kakekku tak membutuhkan doaku. Baba' aku tahu kau sudah ada di dekatNya, mintalah Dia utk menganpuni aku. Karena dosaku yang kerap mengacuhkanmu. Berpura2 tak mendengar saat ia memanggilku, padahal suara itu adalah suara terakhirnya yg kudengar sehari sebelum Baba' meninggal.

-Aku yg berterimakasih pernah menjadi cucu mu, kenangan belajar membaca quran di masjid milikmu. Walaupun begitu belum sekali pun aku menghatamkan Quran, tapi aku bertekad untuk itu-